Palembang. Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Selatan bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum menggelar diskusi teknis mengenai layanan pengangkatan penerjemah tersumpah, Selasa (7/5), di aula kanwil setempat.
Sesuai dengan Permenkumham Nomor 4 Tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Pelaporan dan Pemberhentian Penerjemah Tersumpah, bahwa Penerjemah Tersumpah adalah orang atau individu yang mempunyai keahlian dalam menghasilkan terjemahan, yang telah diangkat sumpah oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan HAM dan terdaftar pada kementerian tersebut.
“Penerjemah tersumpah (Sworn Translator) berperan penting bagi masyarakat yang akan menggunakan dokumen dari dalam maupun luar negeri, yang mana hasil terjemahannya diakui secara sah berdasarkan hukum negara yang bahasanya dipakai untuk menerjemahkan,” ujar Kakanwil Kemenkumham Sumsel, Dr. Ilham Djaya.
Setidaknya, terdapat 66 jenis dokumen publik yang harus diterjemahkan oleh seorang penerjemah tersumpah. Ketentuan ini juga ditegaskan lewat peluncuran layanan Apostille oleh Ditjen AHU Kemenkumham pada Juni 2022 lalu.
Ilham menambahkan, bahwa saat ini di Sumatera Selatan sendiri belum memiliki penerjemah tersumpah, maka ia dan jajaran akan terus mensosialisasikan layanan pengangkatan penerjemah tersumpah kepada masyarakat sehingga profesi penerjemah tersumpah dapat semakin dikenal oleh masyarakat yang akan menggunakan terjemahan resmi dalam berbagai urusan dan pekerjaannya.
“Saya tekankan, bahwa penerjemah tersumpah merupakan profesi yang menjanjikan di masa mendatang. Hal ini karena hubungan diplomasi, hukum, dan bisnis internasional telah menempatkan profesi ini sebagai fasilitator dalam komunikasi antar negara dan antar bangsa sehingga profesinya sangat strategis,” lanjut Ilham.
Sementara itu, Kepala Bidang Pelayanan Hukum Kemenkumham Sumsel, Yenni menambahkan, bahwa profesi penerjemah tersumpah berbeda dengan penerjemah biasa dimana hasil terjemahan penerjemah tersumpah bersifat legal atau sama dengan dokumen aslinya, berbeda dengan profesi penerjemah biasa yang hanya mengartikan tanpa perlu sertifikasi untuk bukti keasliannya.
Dalam diskusi teknis tersebut, hadir Direktur Perdata Ditjen AHU yang diwakili Analis Hukum Ahli Muda, Nyimas Lita Aprianty selaku narasumber, serta beberapa partisipan yang berasal dari Notaris Kota Palembang, Lembaga Bahasa Universitas Sriwijaya, Politeknik Bahasa Sriwijaya, Lembaga Bahasa LIA, Sekolah Tinggi Bahasa Asing Metodis Palembang, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda, Universitas Muhamadiyah Palembang, dan Universitas Bina Darma.
Terakhir, Kakanwil Ilham Djaya berharap melalui kegiatan ini dapat diperoleh hasil kebijakan yang mengerucut untuk pembentukan Lembaga Sertifikasi Profesi Bahasa seperti LSP UNPAD, LSP Universitas Sebelas Maret dan LSP Universitas Indonesia, mengingat saat ini lembaga tersebut belum ada di Sumatera Selatan.